Selasa, 27 Oktober 2020

REFLEKSI DAN KESIMPULAN FILOSOFI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA

 PENERAPAN SISTEM AMONG PADA MASA KINI

KAJIAN KONSEP DAN PRAKTIK BAIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN

                                         
                                                                                      
oleh :

NI NYOMAN AYU SUCIATI, S.Si. M.Pd.
CALON GURU PENGGERAK
SMP NEGERI 1 KUTA UTARA
KABUPATEN BADUNG - BALI


OM SWASTYASTU

SALAM GURU PENGGERAK...MERDEKA BELAJAR

PENDAHULUAN

            Sistem pendidikan diperlukan untuk mengontrol jalannya pendidikan itu sendiri. Disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai pendidikan nasional. Salah satu fungsi pendidikan nasional adalah meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia agar tidak sampai tertinggal dengan negara lain. Oleh karena itu sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan global.
        Sistem pendidikan yang digunakan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan yang berdampak pada mutu pendidikan. Sistem pendidikan biasanya diambil dari Negara Barat. Dalam mencapai tujuan pendidikan terkadang sistem pendidikan tersebut berhasil, akan tetapi tidak sedikit pula yang mengalami kegagalan, sebab tidak sesuai dengan nilai dan budaya Indonesia. Agar dapat mencapai tujuan dan definisi dari pendidikan, maka pendidikan Indonesia membutuhkan sistem yang memadai dan memenuhi, maka dari itu saya akan menjabarkan pentingnya penerapan sistem among yang merupakan ajaran dari Bapak Pendidikan yaitu Ki Hadjar Dewantara yang awalnya diterapkan  melalui pendidikan Taman Siswa.
              Sistem Among Ki Hadjar Dewantara merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan karena merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Pendidikan sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan asas yang berbunyi: Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladha. Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya.
               Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari Sistem Among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan Sistem Among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa.
                   Ki Hadjar Dewantara menjelaskan analog hubungan guru-siswa dalam sistem among serupa dengan hubungan juru tani dan tanamannya. Untuk itu guru terhadap para murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanamannya. Orang bercocok-tanam harus takluk kepada kodratnya tanaman, janganlah tanaman ditaklukkan pada kemauan si-petani. Haruslah si petani menyerahkan dirinya, yakni menghilangkan kemurkaan dirinya, dengan iklas kepada kepentingan tanamannya dan mengejar kesuburan tanamannya semata-mata. Kesuburan tanamannya inilah yang menjadi kepentingan si juru-tani. 
                Sistem Among adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem pendidikan Taman Siswa, dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingati dan mementingkan kodrat anak-anak, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Oleh karena itu alat ”perintah, paksaan dengan hukuman” yang biasa dipakai dalam pendidikan zaman dahulu, harus diganti dengan aturan: memberi tuntunan dan menyokong pada anak-anak di dalam mereka bertumbuh dan berkembang karena kodratnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan sendiri itu serta mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya. Perintah dan paksaan hanya boleh dilakukan jika anak-anak tidak dapat dengan kekuatannya sendiri menghindarkan mara-bahaya yang akan menimpanya, sedangkan hukuman tak boleh lain dari pada sifatnya kejadian yang sebetulnya harus dialami, sebagai buah atau akibat kesalahannya; hukuman yang demikian itu lalu semata-mata menjadi penebus kesalahan, bukan siksa dari orang lain 
                 Berdasarkan beberapa kajian tersebut, dapat dilihat berbagai keunggulan dari Sistem Among, namun sayang kajian atau penelitian mengenai hal itu belum banyak dilakukan. Beberapa pihak mengkhawatirkan, bila tidak dilakukan kajian yang mendalam, sistem tersebut  akan dilupakan atau tidak dipahami oleh generasi yang akan datang, sehingga pengkajian penerapan sistem among ini perlu dilakukan. Oleh karena itu, saya akan melakukan refleksi dan pengkajian konsep pembelajaran yang telah saya lakukan dan membuat sebuah rencana tindakan berupa praktik baik dalam proses pembelajaran yang mencerminkan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. 

PEMBAHASAN

             Mungkin sudah bukan hal baru lagi kalo saya mengatakan bahwa profesi guru masih dipandang sebelah mata di Indonesia. Sedikit-banyak mungkin karena masyarakat Indonesia umumnya beranggapan bahwa tugas seorang guru hanya sekadar mengajar di depan kelas dan memberi tugas kepada murid. Tapi menurut saya pribadi, tugas utama seorang guru bukan hanya mengajar, tapi juga memberi contoh, inspirasi, dan yang paling penting adalah membuat murid senang belajar serta menikmati proses belajar itu sendiri. 
        Dalam perspektif ini, saya berpendapat bahwa tolak ukur keberhasilan seorang guru itu bukan ditentukan oleh kepala sekolah maupun orangtua, tapi justru oleh murid-muridnya. Keberhasilan guru utamanya tercermin pada perubahan positif yang dialami oleh murid-muridnya. Perubahan positif itu bisa jadi macam-macam indikatornya, dari mulai pemahaman murid akan materi pelajaran, rasa antusias murid dalam mengikuti proses pembelajaran, dan yang paling penting adalah sejauh mana murid menikmati proses belajar yang dijalaninya tersebut. 
        Sayangnya, dari pengalaman saya berkecimpung di dunia pendidikan, tidak semua guru sepakat dengan pandangan saya di atas. Maksudnya, masih banyak guru yang tidak menjadikan “antusiasme murid dalam belajar” sebagai tolak ukur utama dalam proses mengajar, tetapi justru menciptakan semacam sistem yang membuat murid-murid belajar dengan penuh keterpaksaan, seperti pemberian tugas dengan porsi yang tidak wajar, memberi sanksi dan hukuman dengan cara yang kurang tepat sasaran, dan sebagainya. 
        Dalam prakteknya, saya yakin setiap guru memiliki niat dan tujuan yang baik dalam mendidik murid, saya juga mengerti bahwa setiap guru memiliki style dan caranya masing-masing dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Saya sungguh sangat memahami itu karena bagaimanapun saya sendiri adalah seorang guru dan juga wali kelas. Namun terlepas dari itu, menurut saya ada beberapa ‘style‘ cara mengajar yang saya kira perlu kita evaluasi lagi bersama. Karena saya khawatir, banyak guru yang mungkin tidak menyadari bahwa cara mengajar yang selama ini mereka terapkan itu kurang tepat dan bahkan berdampak negatif bagi para murid.

        Berikut adalah refleksi dan pengkajian saya tentang proses pembelajaran yang telah dan akan saya lakukan demi terciptanya tujuan pembelajaran yang sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara :

1. Hal-hal yang saya percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum saya mempelajari dan memahami filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. 

  • Dalam pandangan pribadi saya, saya menganggap siswa sebagai sebuah kertas kosong yang belum ditulisi (a sheet of white paper avoid off all characters). Jadi saya menganggap sejak lahir anak tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Tugas guru lah yang menuliskannya, dimana kekuatan ada pada pendidik untuk membentuk bakat murid. Hal ini mengakibatkan sentral proses belajar (pendidikan) terletak pada guru (teachers centered) dan anak-anak dikondisikan pasif (karena mereka hanya sebuah kertas kosong yang harus diisi). Pengetahuan tentang teori tabula rasa ini bagi saya menjelaskan fenomena anak-anak sekolah yang pasif dan kegiatan utama guru yang fokusnya mengajar (mengisi kertas kosong). Keterlibatan anak tak dianggap terlalu penting, apalagi pendapat dan inisiatif anak. Kalaupun ada, semua itu hanya bersifat suplemen untuk kegiatan utama tadi, yaitu membentuk potensi anak sesuai dengan keinginan guru. Dampaknya adalah potensi anak tidak berkembang dengan maksimal.


Gambar 1. Potensi siswa ditentukan oleh keinginan guru

  • Saya beranggapan bahwa keberhasilan seorang guru dalam mengajar adalah mampu menyelesaikan seluruh capaian kompetensi yang tersusun dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), dengan menerapkan model atau metode pembelajaran yang ditentukannya sendiri tanpa melakukan diagnosa awal terhadap kondisi dan keinginan peserta didik. Demi mencapai keseluruhan kompetensi yang tercantum dalam RPP dengan jangka waktu yang ditentukan, maka seringkali saya memberikan tugas/PR yang berlebihan kepada peserta didik, sehingga menciptakan kondisi "keterpaksaan" peserta didik dalam belajar. Dampaknya adalah proses pembelajaran menjadi tidak menyenangkan dan cenderung membuat peserta didik tertekan dalam belajar demi pemenuhan capaian kompetensi yang ditentukan oleh guru.

                      Gambar 2. Antusiasme siswa dalam belajar tidak menjadi tolak ukur keberhasilan guru

  • Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Dari pengalaman saya menjadi guru dan wali kelas, memang selalu ada-ada saja ulah murid yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, bikin ribut di kelas, menyontek, lupa mengerjakan PR, dan sebagainya. Dalam hal ini, saya mengerti jika guru menggunakan metode hukuman untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku siswa, sekaligus memberikan efek jera dan bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain. Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk membuat siswa berhenti melakukan kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul dapat menyelesaikan masalah?. Dampak dari pemberian hukuman yang tidak mendidik akan membuat peserta didik yang terhukum merasa rendah diri, hilang kepercayaan, kerenggangan hubungan emosional, perasaan untuk terus memberontak, bahkan memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya. Saya pikir, hal ini juga bisa jadi relevan dalam konteks hubungan guru dengan murid. Bentuk hukuman yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi membuat siswa untuk bersikap antipati terhadap guru, bahkan membenci mata pelajaran yang diajarkan.

Gambar 3. Pembentukan karakter buruk melalui hukuman tidak mendidik


2. Hal-hal yang berubah dari pemikiran/perilaku saya setelah mempelajari dan memahami filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
  • Guru berperan sebagai pamong di sekolah. 

    Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan keahagiaan setingi-tingginya. Oleh karen itu, haruslah diingat bahwa pendidikan hanya suatu ”tuntunan” di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti, bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan dan kehendak kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup jelas hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak tidak lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Hal ini berarti, guru harus berpegang pada kemampuan dasar anak didik, setiap anak itu mempunyai potensi sesuai dengan kodratnya, guru harus memberikan kesempatan dan dorongan kepada anak didik untuk menunjukkan kemampuannya, pembinaan anak didik berdasarkan kemauan sendiri, pemahaman sendiri dan usaha sendiri, tugas guru memfasilitasi bakat anak agar berkembang secara optimal. Guru tidak lagi mengajar hanya sekedar menjalankan pekerjaan, akan tetapi memperlakukan anak didiknya sebagai anak kandungnya sendiri sehingga guru dapat mengajar dengan kesungguhan. Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah student - centered. Istilah yang beliau pergunakan adalah "berhamba pada sang anak". Metode Among tercermin di semboyan Tut Wuri Handayani, adalah metode yang berhamba pada sang anak. Filosofi ini mensyaratkan pendidik untuk memberi tuntunan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak secara budi (cipta, rasa, karsa) dan pekerti (tenaga), sesuai dengan kodratnya sang anak. Tuntunan ini bersifat holistik, tak boleh lepas dari pendidikan sosial dan kultural. Pendidikan saat ini cenderung masih menekankan kognitif (ujian), tidak memberikan tuntunan sesuai kodrat dan tahap perkembangan anak, tidak holistik dan menomorduakan pendidikan sosial dan kultural. Dalam sistem tersebut pelajar tidak akan belajar untuk perkembangan hidup kejiwaannya, tapi untuk nilai tinggi, rapor dan ijazah, sehingga sistem pendidikan seperti ini perlu kita perbaiki. Jika sistem pendidikan kita berniat menghadirkan filosofi Ki Hajar Dewantara secara substansi, bukan sekedar seremonial, kita perlu kerja sama seluruh komponen Tri Pusat Pendidikan, yaitu orang tua, sekolah, dan masyarakat. Semua kebijakan mulai dari sektor input, proses, dan output, harus bertanya, sejauh mana ia mendukung filosofi berhamba pada sang anak.

       

Gambar 4. Setiap anak memiliki potensi sesuai dengan kodratnya

  • Antusiasme peserta didik adalah tolak ukur keberhasilan seorang guru

        Menurut Ki Hadjar Dewantara, sekolah adalah Taman, yaitu tempat yang menyenangkan bagi anak-anak untuk bermain. Guru hendaknya menciptakan suasana yang menyenangkan bagi siswa dalam proses pembelajaran. Salah satu caranya adalah melakukan diagnosa awal terhadap kondisi siswa sehingga dapat melakukan kesepakatan awal tentang metode ataupun model pembelajaran yang akan digunakan demi tercapinya tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran hendaknya menggunakan alam sebagai sumber belajarada konsep bermain (game), dan mampu mengembangkan semua panca indera (cipta, rasa dan karsa) peserta didik agar mereka dapat berkreasi dan berinovasi dengan baik. Proses pembelajaran hendaknya mencerminkan merdeka belajar menuju situasi yang disebut sebagai students will being, dimana peserta didik diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkontribusi sehingga mampu menumbuhkan jiwa kritis mereka. Berkaitan dengan pengembangan daya cipta, rasa, dan karsa hendaknya tugas yang diberikan oleh guru untuk pencapaian tujuan pembelajaran hendaknya tidak hanya mengukur kemampuan kognitif peserta didik, tetapi juga menumbuhkan sikap dan jiwa makarya (sikap dan watak untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri), sehingga proses pembelajaran akan berlangsung menyenangkan dan mampu meningkatkan antusiasme peserta didik. 

             

    Gambar 5. Metode pemblajaran yang menyenangkan mampu meningkatkan antusiasme siswa


  • Pembentukan karakter melalui hukuman yang bersifat mendidik

Menjadi seorang guru, memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan ilmunya, ada saja murid yang ngobrol sendiri, ada yang ngelamun, ada yang gambar-gambar, dan sebagainya. Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru ingin merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya. Namun di sisi lain, saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa. Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang siswa terhadap guru-gurunya. Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi penerapan “hukuman” sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan kelas dengan satu kaki, lari keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan tiang bendera selama berjam-jam, menulis berulang kalimat “aku tidak akan terlambat” sebanyak 100x, dan bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah. Dalam hal ini, bukan berarti saya berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali tidak perlu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi siswa bahwa tindakan dia itu keliru. Prinsip hukuman kepada peserta didik menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu : hukuman harus selaras dengan kesalahan, harus adil dan seimbang, sebagai upaya pembentukan karakter siswa. Jadi berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut. 

 

Gambar 6. Hukuman harus bersifat adil, mendidik dan membangun karakter siswa

 

3. Hal-hal yang bisa segera saya terapkan lebih baik agar kelas saya mencerminkan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara.

  • Memaksimalkan penerapan metode Among dalam proses pembelajaran

Sistem among diciptakan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, berbudi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan, sehat jasmani maupun rohani. Selain itu tujuan dari sistem among adalah agar setiap anak kelak menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. 

Sistem among bersendikan : pertama kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya sistem among juga berkaitan dengan kodrat alam. Kodrat alam merupakan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang berarti setiap anak pada hakekatnya sebagai makhluk Tuhan yang diberikan bakat sejak lahir. Oleh karena itu dalam pembelajaran sistem among, seorang guru harus mengetahui setiap bakat yang dimiliki oleh anak. Selanjutnya tugas guru adalah membimbing serta mengarahkan bakat yang dimiliki setiap anak sesuai dengan bidangnya masing-masing agar bakat tersebut dapat berkembang dan menjadi jalan untuk berprestasi.  

Sendi kedua sistem among adalah kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Kemerdekaan tersebut sebagai karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk mengatur dirinya sendiri. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk mengembangkan bakat yang dimiliki manusia sejak lahir agar bakat yang dimiliki dapat berkembang dengan sebebas-bebasnya. Akan tetapi di dalam dasar kemerdekaan yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara kebebasan disini bukan berarti bebas melakukan apapun tanpa adanya batasan-batasan tertentu. Sebaliknya, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang tetap mengenal dan menjalankan syarat tertib damainya hidup bermasyarakat. Artinya kemerdekaan yang dimiliki oleh setiap anak tetap harus menjalankan aturan yang ada, dimana hidup di lingkungan sekolah maupun masyarakat pasti mempunyai aturan-aturan tertentu dan aturan-aturan tersebut harus di patuhi.

Gambar 7. Peran sistem among bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan siswa


  • Menerapkan proses pembelajaran yang Humanis dan berorientasi pada penanaman budi pekerti.

Pembelajaran humanis berorientasi pada aspek kemanusiaan yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia (dalam hal ini peserta didik) dengan harapan peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya. Pembelajaran humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pembelajaran humanistis. Pembelajaran humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi fitrah dalam hal ini segala potensi positif yang ada pada setiap insan. Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama mengajar hanya sekedar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum, sehingga tidak memiliki idealisme menjadi seorang pendidik. Guru dituntut untuk kembali seperti yang di ajarkan Ki Hajar Dewantara, yakni seorang yang Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani. Guru yang bukan hanya mengajar tapi juga mendidik. Aktualisme ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter bangsa sebagai perwujudan Profil Pelajar Pancasila, sudah sangat mendesak diterapkan. Kalau itu dilakukan Indonesia akan bebas dari predikat negara yang terkorup, tindakan kekerasan, dan pelecehan seksual yang kesemuanya itu disebabkan lemahnya sistem pendidikan yang berkarakter budaya Indonesia. Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya, sehingga Indonesia berubah menjadi bangsa yang berkarakter tinggi.

 


 Gambar 8. Pendidikan karakter sebagai ujung tombak peradaban bangsa


  • Menerapkan pendekatan budaya dalam proses pembelajaran

Pendidikan berbasis budaya merupakan pembelajaran yang mengintegrasikan budaya dalam proses pembelajaran agar terjadi harmonisasi dan internalisasi nilai-nilai karakter dan budi pekerti. Belajar dengan pendekatan budaya dapat menjadikan siswa tidak terasing dari budaya lokalnya serta meningkatkan apresiasi terhadap budaya lokal. Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentrasformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam. Dengan demikian melalui pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan sekedar meniru atau menerima saja informasi yang disampaikan, tetapi siswa menciptakan makna, pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya. Pengetahuan bukan sekedar rangkuman naratif dari pengetahuan yang dimiliki orang lain, tetapi suatu koleksi (repertoire) yang dimiliki seseorang tentang pemikiran, perilaku, keterkaitan, prediksi dan perasaan, hasil transformasi dari beragam informasi yang diterimanya. Pembelajaran berbasis budaya merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat : (1) menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual yang dapat terkait dengan komunitas budaya, dimana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan nantinya, (2) menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan. Kondisi belajar ini memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara kontekstual berdasarkan pengalaman awal sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya.


 Gambar 9. Internalisasi nilai karakter dan budi pekerti melalui pembelajaran bebasis budaya 


KESIMPULAN

Sistem pendidikan yang masih relevan untuk diterapkan dan sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya Indonesia adalah "Sistem Among". Sebab sistem among diciptakan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan melihat dan menyesuaikan dengan budaya lokal. Sistem among dalam penerapannya berkaitan dengan ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara yang lain, seperti Tutwuri Handayani; Daya cipta, rasa dan karsa; kodrat alam serta kemerdekaan. Setiap butir ajaran tersebut mempunyai makna  yang luas untuk membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, berbudi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan, sehat jasmani maupun rohani, serta menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Pendidikan Indonesia harus mempersiapkan benih-benih kebudayaan yang tengah berevolusi ini. Pendidikan harus holistik dan memberi tuntunan sesuai kodrat anak dan zamannya. Karena itu, dalam menjawab tantangan era revolusi digital ini, sisitem pendidikan Indonesia harus kembali kepada filosofi Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu sistem pendidikan yang "berhamba pada sang anak".



"Bebas dari ikatan, dengan suci hadir mendekati sang anak, bukan untuk meminta sesuatu hak melainkan untuk berhamba pada sang anak (Ki Hajar Dewantara, 1922)"



Berikut adalah video terkait Refleksi dan Pemahaman saya tentang Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara.






Berikut ini adalah Rancangan Tindakan untuk Aksi Nyata yang akan saya lakukan di kelas /sekolah untuk mewujudkan pembelajaran yang sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara :

https://rumahipasmpsakura.blogspot.com/2020/10/rancangan-aksi-nyata.html



TERIMAKASIH..SEMOGA BERMANFAAT.

OM SHANTIH..SHANTIH..SHANTIH..OM